Pemuda ICMI Soppeng yang diketuai Andi Muhammad Ikram, S.H menggelar Diskusi Perdana dengan topik “Peringatan dan Makna 10 Muharram ; Tradisi dan Keyakinan Masyarakat” pada 29 Juli 2023 pukul 16.15 WITA. Diskusi diadakan secara virtual dengan mengundang beberapa pemantik diskusi.
Diawali sambutan Ketua Wilayah Pemuda ICMI Sulawesi Selatan, Dr.dr. Andi Alfian Zainuddin yang juga merupakan Wakil Dekan III Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin memberi apresiasi diselenggarakannya Diskusi yang mengangkat tema 10 Muharram.
Pemantik Diskusi Pertama, Nurul Ulfah Muthalib, S.KM, M.Kes yang juga Pengurus Pemuda ICMI Sulsel sekaligus Ketua Umum Fatayat NU Sulsel mengawali dengan hipotesa mengenai “Apakah tradisi 10 Muharram ada anjurannya?” Berdasarkan Al Qur’an Surah At Taubah ayat 36, dikatakan ada 4 bulan mulia yaitu bulan Muharram, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Rajab. Dalam bulan Muharram dianjurkan untuk berbuat baik sebab pahalanya dilipatgandakan.
Dikatakan sesungguhnya sejak abad 13-14 M tradisi Asyura sudah dilakukan. Nabi Muhammad dahulunya melakukan puasa Asyura yang mana sesuai Riwayat Ibnu Abbas r.a, Shahih Bukhari puasa Asyura merupakan sunnah. Mengenai tradisi masyarakat, jika merujuk Imam Syafi’i sesuatu boleh dilakukan jika tidak ada dalil yang melarang. Tradisi dibolehkan sepanjang tidak dianggap wajib.
Sejalan dengan itu, Pemantik Diskusi II, Andi Muhammad Ikram, S.H sebagai Ketua Pemuda ICMI Soppeng dan juga Pengurus DPD Wahdah Islamiyah dan Pengusaha Muda ini memaparkan ada bulan mulia yaitu Bulan Ramadhan, hari mulia yaitu Hari Jumat dan waktu mulia yaitu Bulan Muharram. Tradisi 10 Muharram di Indonesia jika di Jawa ada Kejawen maka di Kabupaten Soppeng juga ada tradisi warga membeli timba yang dimaknai mengambil rejeki. Disebutkan bahwa puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa Muharram. Merujuk pada Kitab At Thariq mengenai kebiasaan dan sejarah, posisi sejarah dan tradisi tidak bisa dipisahkan. Dalam Al Qur’an Surah Yusuf ayat 111 mengandung makna kisah pendahulu itu penting. Diriwayatkan dari Ali bin Husain Zainul Abidin, “Dahulu Kami diajarkan tentang sejarah sebagaimana Al Qur’an diajarkan kepada kami”. Sejarah dan tradisi berkaitan. Di Indonesia dikenal sebagai Negeri 1001 budaya yang merupakan asset yang berharga dimana posisi budaya merupakan nilai luhur sehingga keberadaan agama bukan untuk menghapuskan budaya namun untuk menyempurnakannya dan bagaimana mengambil hikmah dari budaya.
Pemantik Diskusi III, Sopian Tamrin, S.Pd, M.Pd (Pemuda ICMI Makassar/ Dosen Sosiologi UNM) mengatakan pertemuan agama dan tradisi keduanya berada di tengah-tengah masyarakat. Ada beragam cara bagaimana mengekspresikan pengalaman beragama masyarakat yaitu Tabuik di Pariaman Sumbar, Greget Suro di Ponorogo, Tidak Tidur (Begadang), Kirab Kebo, Bubur Syuro di Sunda, Nganggung di Bangka Belitung dan membeli peralatan dapur dan tempat penyimpanan (ember, baskom, timba, sendok). Ini menunjukkan konteks sosial mempengaruhi nilai agama atau menjadi sunnah sosial. “Kenapa tradisi Asyura muncul berbeda-beda?” Karena teks sejarah yang muncul bervariasi. Teks bervariasi disebabkan adanya tradisi pada saat Nabi Muhammad masih hidup (kenabian) kemudian adanya tradisi pada saat Nabi Muhammad telah wafat (pasca kenabian).
Pada dasarnya setiap orang memiliki pra pengetahuan di kepalanya dan ketika bertemu teks akhirnya ekpresinya berbeda-beda. Merujuk pada Michael Foucault membaca sejarah perlu secara kritis.
Diskusi membuka sesi dialog interaktif dan mengambil beberapa input di antaranya ada diskusi lanjutan kembali atau RTL diskusi mengenai Asyura, perlu ada sosialisasi ke sekolah-sekolah mengenai Keutamaan 10 Muharram dan melihat Asyura dari sisi lain, mengenai tragedi Karbala, terbunuhnya cucu Rasulullah dan hikmah yang bisa dipetik dari sejarah itu. Peserta yang hadir beragam dari berbagai organisasi keagamaan.
Diskusi dipandu Andi Sri Wulandani, S.IP, M.Hum yang merupakan Pengurus Wilayah Pemuda ICMI Sulsel dan Direktur Lembaga Kerja Penelitian Publik (LKPP).