Kegiatan bertajuk kebudayaan yang dikemas dalam Gau Maraja La Patau Matanna Tikka, akan berlangsung di Kabupaten Soppeng pada tanggal 15-18 Juli 2023 mendatang.
Event ini tentunya dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Soppeng kolaborasi dengan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX, dan Direktorat Perfileman, Musik, dan Media Direktorat Jendral Kebudayaan Kemdikbudristek Republik Indonesia. Tentu akan menghadirkan sebuah kemegahan di Bumi La Temmamala dengan menghadirkan beberapa jenis kegiatan.
Namun, diantara kita mungkin saja masih ada belum mengetahui siapa itu La Patau Matanna Tikka, berikut penjelasannya yang dikutip dari berbagai sumber.
La Patau Matanna Tikka (lahir pada tanggal 03 November 1672 dan wafat pada tanggal 16 September 1714) adalah Mangkau (Raja) Bone XVI yang menjabat pada tahun 1696-1714. menggantikan Arung Palakka. Gelaran nama panjang La Patau adalah La Patau Matanna Tikka, Sultan Adzimuddin Idris, Walinonoe To Tenribali Malae Sanrang, Matinroe ri Nagauleng.
La Patau juga adalah Raja (Datu) Soppeng XVIII dan Ranreng Tuwa (Wajo) XVII dan mewarisi Arung Ugi dan Arung Timurung serta Ranreng Tuwa dari ayahandanya La Pakokoe dan Arung Palakka dari ibundanya. Neneknya adalah Sitti Hadijah I Dasale Arung Pugi Paddanreng Tuwa XV, dan kakeknya adalah La Maddaremmeng Opunna PakokoE Arung Timurung Arung Palakka, Raja / Mangkau Bone XIII (1631-1644).
Selain sebagai Raja, La Patau juga tampil sebagai sosok yang menguatkan praktik syariat Islam yang ketat di Sulawesi Selatan dan beliau juga yang memiliki pemeran utama terbaik yang menjadi simpul dalam gerakan sompunglolo-Sempugi atau penyatuan genealogis antar bangsawan Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan pada abad ke-18. Nyaris semua tokoh atau elite di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sekarang ini adalah keturunan (wija) dari La Patau.
La Patau adalah anak dari pasangan La PakokoE To Angkone Arung Timurung, Paddanreng Tuwa XVII, Putra Sultan Bone XIII La Maddaremmeng dan We Tenri Wale Mappolo BombangE Maddanreng Palakka yang merupakan adik dari Arung Palakka Arung Palakka menikahkan La Patau Matanna Tikka dengan We Ummung Datu Larompong anak dari La Settia Raja, PajungngE ri Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang kemudian melahirkan We Batari Toja Daeng Talaga. Pada tahun 1687 Masehi, La Patau Matanna Tikka dinikahkan lagi oleh pamannya Arung Palakka di Makassar yaitu We Mariama Karaeng Pattukangan, anak KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Tumenanga ri Lakiung atau cucu yang juga merupakan cucu dari Sultan Hasanuddin.
Dari perkawinannya itu lahirlah empat anak, yaitu We Yanebana I Dapattola, La Pareppa To Sappewali, La Padassajati To Appaware dan La Panaongi To Pawawoi. Diriwayatkan bahwa selain kedua permaisuri La Patau di atas, tercatat 18 (Delapan belas) orang istri lainnya dalam Lontaraq antara lain adalah Sitti Maemuna (Dala Maru’), I Akiya (Datu Baringeng), We Rakiya (Dala Bantaeng), We Biba To Unynyi’, We Maisa To Lemo Ape’, We Leta To BaloE, We Sangi To BikuE, We SIa, We Sitti To Palakka, We Najang To Soga, We Caiya To BaloE, We Cimpau To UciE, We Baya To Bukaka, We Sitti, We Saira Karobang, We Sanra To Soppeng, We Ati, dan We Rupi.
Dalam Kitab Al-Mausuu’ah liansaabi Al-Imam Al-Husain yang disampaikan oleh As-Sayyid Andi Ahmad Temmaukke Daeng Palallo Al-‘Azhmatkhan, La Patau juga adalah zuriat dari Al-Imam As-Sayyid Jamaluddin Akbar al-Husaini Al-‘Azhmatkhan yang merupakan keturunan ke-21 dari Nabi Besar Muhammad SAW.
La Patau dikenal sebagai raja yang sangat menghargai hukum adat istiadat dan syariat agama. Ia sangat konservatif dan juga sangat tegas kepada para pemadat atau pecandu dan perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan masyarakat sehingga dalam masa pemerintahannya semua adat istiadat berjalan dengan baik. Baginda tidak memandang bulu, siapa saja yang melanggar pasti dihukum termasuk keluarganya sendiri.
Pada masa kekuasaannya, Tercatat dua kali nyaris terjadi peperangan antara Bone dengan Gowa termasuk perang melawan mertuanya sendiri yaitu KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil, ayah dari isterinya yang bernama We Mariama Karaeng Patukangang. Pertama, yaitu pada tahun 1700 Masehi ketika Sulle DatuE ri Soppeng yang bernama Daeng Mabbani dibunuh oleh La Pasompereng Arung Teko. KaraengE ri Gowa menyangka kalau La Pasompereng didukung oleh Arumpone La Patau untuk membunuh Daeng Mabbani yang kejadiannya di SalassaE ri Gowa.
Namun Belanda segera turun tangan untuk menengahi kedua pihak sehingga peperangan tidak berlanjut.Perang kedua yaitu pada tahun 1709 Masehi ketika La Padangsajati melakukan kesalahan besar di Bone. Karena takut dihukum oleh ayahandanya sendiri maka melarikan diri ke Gowa untuk minta perlindungan kepada kakeknya. Oleh Karena permintaan Arumpone bersama Adat Tujuh Bone agar La Padangsajati dikembalikan ke Bone untuk dihukum tidak dipenuhi oleh KaraengE ri Gowa, maka Bone menyatakan perang dengan Gowa.
Sementara KaraengE ri Gowa juga menyatakan dengan tegas bahwa lebih baik berperang dari pada menyerahkan cucunya kepada Bone untuk dihukum. Sebelum perang dimulai, Raja Gowa meninggal dunia. Maka La Pareppai To Sappewali saudara La Padangsajati sendiri yang tidak lain adalah juga anak dari La Patau menggantikan kakeknya sebagai Somba ri Gowa. La Pareppai To Sappewali juga bersikap sama dengan tetap menolak untuk menyerahkan saudaranya ke Bone. Konflik ini juga ditengahi oleh Belanda, sehingga perang perang antara anak dengan ayah menjadi terhindarkan. La Patau adalah raja yang pertama mengangkat Matowa sebagai pemimpin orang-orang Wajo yang tinggal di Makassar dengan tujuan agar orang-orang Wajo yang tinggal di Makassar dapat diawasi keadaan sehari-harinya karena mengingat pada waktu itu La Patau mempunyai tugas sebagai Raja Bone, dan sekaligus juga sebagai Ranreng Tuwa di Wajo. La Patelleng Amanna Gappa adalah orang yang pertama diangkat sebagai Matowa Wajo.
La Patau juga menjabat sebagai Ranreng Tuwa di Wajo yang diwarisi dari ayahandanya, dan juga sebagai Arung Ugi’. Pada mulanya La Patau diminta menjadi Datu Soppeng namun menolak karena menurutnya masih ada yang lebih pantas dan dituakan yaitu We Ada, namun setelah We Ada wafat maka datanglah kembali orang Soppeng meminta memegang Soppeng dan Bone sekaligus sehingga barulah La Patau bersedia.
Selain mewarisi Arung Timurung dari ayahandanya, La Patau juga mewarisi Arung Palakka dari ibundanya yang maddanreng di Palakka. Neneknya adalah Sitti Hadijah I Dasale Arung Pugi Paddanreng Tuwa XV, dan kakeknya adalah La Maddaremmeng Opunna PakokoE Arung Timurung Arung Palakka, Raja / Mangkau Bone XIII (1631-1644). Kakek/nenek Buyut dari La Patau adalah La Pakallongi To Allinrungi Arung Matowa Wajo 15 (1621 •1626) & 17 (1628 – 1636) dengan istri bernama We Jai Daeng Page Arung Ugi Paddanreng Tuwa XIV yang merupakan cucu dari La Mappepulu To Appamole Paddanreng Tuwa XI Arung Matoa Wajo XIII (1612 – 1616).
Makam La Patau Matanna Tikka terletak di Desa Nagauleng Kabupan Bone dengan berbentuk Makam Benteng, dan di dalam kompleks makam terdapat 28 makam. Kompleks Makam La Patau Matanna Tikka seluas 1500 M². Makam La Patau sendiri berukuran, Panjang 230 cm dan Lebar 120 cm.
Bahan makam terbuat dari batu alam/ batu kapur, disekeliling makam di pagari dengan pagar besi. Batas-batas kompleks makam : di sebelah utara adalah jalan Poros Lamuru Cenrana, di sebelah selatan terdapat mesjid, di sebelah timur yakni jalan setapak, dan di sebelah baratnya merupakan pemukiman penduduk. Jarak dari kota Watampone menuju lokasi kurang lebih 35 kilometer melalui jalan poros Bone – Sengkang.